
CakrawalaiNews.com, Sumatera — Bencana besar kembali menimpa Tanah Sumatera. Setelah diguyur hujan ekstrem selama dua pekan berturut-turut, banjir bandang dan tanah longsor meluluhlantakkan tiga provinsi sekaligus: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Ratusan nyawa melayang, ribuan rumah rusak, dan puluhan ribu warga terpaksa mengungsi.
Namun di balik semua itu, satu kenyataan pahit menganga: alam seperti sedang menagih hutang yang sudah terlalu lama ditumpuk manusia.
836 Korban Jiwa dan Potensi Bertambah
Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Jumat (5/12/2025), jumlah korban meninggal telah mencapai 836 orang. Angka ini berpotensi meningkat karena masih banyak warga yang belum ditemukan di sejumlah wilayah terdampak.
Sebaran Bencana di Tiga Provinsi
Banjir dan longsor terjadi hampir serentak di wilayah luas Sumatera bagian utara.
Aceh: 20 Kabupaten/Kota Terdampak. Berdasarkan laporan detiknews (27/11/2025), sedikitnya 20 kabupaten/kota mengalami dampak parah, termasuk:
Kota Lhokseumawe:
Aceh Barat
Aceh Utara
Aceh Timur
Aceh Singkil
Kabupaten Bireuen dan wilayah lainnya.

Sumatera Utara: 13 Kabupaten/Kota Melumpuh
Data MetroTV (27/11/2025) menyebut 13 kabupaten/kota terdampak, antara lain:
Langkat
Tapanuli Tengah
Tapanuli Utara
Tapanuli Selatan
Mandailing Natal
Deli Serdang
Kota Medan
Kota Sibolga
Dan beberapa daerah lain termasuk Nias Selatan dan Humbang Hasundutan.
Sumatera Barat: 13 Wilayah Ikut Terpukul
Menurut Kompas.com (25/11/2025), 13 wilayah juga mengalami bencana, seperti:
Kota Padang
Agam
Bukittinggi
Tanah Datar
Pesisir Selatan
Pasaman
Pasaman Barat
Limapuluh Kota
dan sejumlah kota/kabupaten lain.

Kerusakan Parah: Rumah Hanyut, Jalan Putus, Komunikasi Lumpuh
Air bah menyeret rumah, kendaraan, perhiasan, dan peralatan warga. Jalan longsor memutus akses transportasi antardaerah, sementara beberapa titik di Aceh dan Sumut mengalami gangguan komunikasi yang membuat evakuasi semakin sulit. Ribuan warga terpaksa mengungsi ke pos darurat di daerah aman.
Pemicu Cuaca Ekstrem: Siklon Tropis Koto dan Bibit Siklon 95B
Menurut BMKG, yang dikutip detiksumut (28/11/2025), hujan ekstrem dipengaruhi:
Siklon Tropis Koto yang berkembang di Laut Sulu. Bibit Siklon Tropis 95B di Selat Malaka, kedua fenomena ini meningkatkan intensitas hujan dan angin kencang, khususnya di wilayah Sumatera bagian utara. Namun, apakah cuaca ekstrem adalah penyebab utama?
Fakta Lapangan Mengguncang: Sungai Dipenuhi Kayu Terpotong Rapi
Banjir bandang di Sungai Batangtoru, Tapanuli Selatan, memperlihatkan pemandangan yang menyakitkan — bongkahan kayu besar, tanpa akar dan tanpa daun, terbawa arus. Bahkan beberapa terlihat terpotong rapi, seperti hasil olahan mesin.
Kayu-kayu itu tidak datang dari langit.
Pemandangan ini mengindikasikan deforestasi masif terjadi di hulu sungai. Tanah gundul membuat air tak memiliki tempat meresap, sementara sisa batang tebangan berubah menjadi peluru maut ketika air bah datang.
Data Deforestasi Sumatera: Luka Lama yang Dibiarkan Menganga
Menurut Global Forest Watch (GFW): Sumatera Barat (2002–2024)
Kehilangan 320 ribu hektare hutan primer basah, menyumbang 44% dari total kehilangan tutupan pohon, total penyusutan hutan primer: 14%
Sumatera Utara (2024)
Hilang 8,1 ribu hektare hutan alami, melepas 5,9 juta ton CO₂ Aceh (2024), dan hilang 13 ribu hektare hutan alami, melepas 9 juta ton CO₂. Data ini memperlihatkan satu hal: fondasi ekologis Sumatera telah dihancurkan bertahun-tahun sebelum hujan ekstrem datang.
Ketika Alam Memperbaiki Diri
Banjir bandang ini bukan sekadar bencana alam — melainkan reaksi alam yang dipaksa menghadapi kerakusan manusia. Ketika hutan ditebang, lereng digunduli, dan sungai dibebani limbah serta kayu tebangan, maka saat air datang, alam hanya menjalankan hukum tunggalnya: memulihkan diri dengan caranya sendiri.
Sayangnya, manusia yang membayarnya, dengan ratusan nyawa, lantas siapa Bertanggung Jawab Pertanyaan besar kini menggema dari Aceh hingga Sumbar:
Di mana pengawasan lingkungan?
Mengapa tata ruang tidak ditegakkan?
Siapa yang mengizinkan pembukaan hutan di hulu sungai?
Mengapa peringatan ekologis bertahun-tahun tak digubris?
Ketika alam memperbaiki diri, manusialah yang harus menanggung akibatnya. Dan tragedi Sumatera hari ini adalah bukti paling pahit bahwa kerusakan hutan tidak hanya mencabut pohon — tetapi juga mencabut nyawa.
Renungan
Dalam Al-Qur’an, gagasan tentang “alam memperbaiki dirinya sendiri” terkait erat dengan konsep keseimbangan (mizan), kekuasaan Allah (sunnatullah), dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah.
Berikut adalah makna sebenarnya di dalam Al-Qur’an:
Tanda Kekuasaan Allah (Ayatullah): Kemampuan alam untuk pulih dan beregenerasi adalah salah satu tanda kebesaran dan kekuasaan Allah SWT.
Ini menunjukkan kesempurnaan penciptaan-Nya, di mana sistem alam dirancang dengan mekanisme mandiri untuk menjaga keberlanjutan hidup, asalkan tidak diganggu secara berlebihan oleh manusia.
Konsep Keseimbangan (Mizan): Allah menciptakan alam semesta dengan keseimbangan yang sempurna (mizan).
Ayat Al-Qur’an, seperti dalam Surah Ar-Rahman (55:7-8), menekankan pentingnya menjaga keseimbangan tersebut. Ketika terjadi kerusakan, alam berupaya untuk kembali ke kondisi seimbangnya, sebuah proses alami yang merupakan bagian dari sunnatullah (hukum alam yang ditetapkan Allah).
Respons terhadap Kerusakan Akibat Ulah Manusia: Al-Qur’an secara jelas menyatakan bahwa kerusakan di darat dan di laut sering kali terjadi akibat perbuatan tangan manusia (QS. Ar-Ruum: 41).
Ketika manusia menghentikan perusakan atau setelah bencana alam terjadi, proses pemulihan alam adalah respons alami untuk menetralisir dampak negatif tersebut.
Peringatan dan Pelajaran bagi Manusia: Proses pemulihan alam berfungsi sebagai peringatan bagi manusia tentang kerapuhan tindakan mereka dan pentingnya menjaga lingkungan.
Ini mengajarkan manusia untuk tidak sombong, berbuat ramah terhadap lingkungan, dan menjalankan peran mereka sebagai penjaga bumi, bukan perusak.
Harapan dan Rahmat Allah: Kemampuan alam untuk pulih juga mencerminkan rahmat dan sifat Maha Pengampun Allah, yang memberikan kesempatan bagi kehidupan untuk terus berlanjut dan bagi manusia untuk bertobat serta memperbaiki diri.
Secara ringkas, Al-Qur’an memandang kemampuan alam untuk “memperbaiki dirinya sendiri” sebagai bukti nyata dari sistem ilahi yang kokoh yang bekerja untuk mempertahankan keseimbangan, meskipun manusia sering kali mengganggunya.
(Laporan CakrawalaiNews.com – dirangkum dari berbagai sumber nasional).
Editor: Sry


