Home Opini Ketika Kebodohan Menjadi Alat Politik
Opini

Ketika Kebodohan Menjadi Alat Politik

Unan Bitin Amuntai. Foto: Rosehan untuk CakrawalaiNews.com

OLEH: UNAN BITIN AMUNTAI

DALAM kontestasi politik modern, tak jarang kebodohan justru bukan menjadi hambatan, melainkan komoditas yang dijual sebagai citra. Ia tampil bukan sebagai kekurangan, tetapi sebagai strategi yang efektif.

Di tengah hiruk-pikuk panggung politik hari ini, kita melihat ironi yang menyakitkan. Kebodohan, dalam pengertian ketidaktahuan atau minimnya pemahaman terhadap persoalan publik, sering kali tidak dianggap sebagai kelemahan. Justru, dalam sistem yang lebih mementingkan pencitraan ketimbang substansi, kebodohan bisa tampil memikat jika dikemas dengan narasi yang menarik.

Politik tidak selalu berpihak kepada mereka yang bijaksana. Sistem demokrasi kadang lebih mengedepankan suara terbanyak daripada isi gagasan. Maka, seseorang yang tak memahami isu bisa tetap menempati posisi strategis selama ia mahir membentuk citra, pandai memainkan peran, dan tahu bagaimana menyentuh selera massa.

Ketidaktahuan sering dikemas sebagai kesederhanaan. Kepolosan dijual sebagai kejujuran. Padahal di balik itu, sesungguhnya ada kekosongan substansi yang berbahaya jika terus dipelihara. Sementara itu, orang-orang yang berpikir jernih, membawa gagasan kuat, dan memiliki keberanian moral justru sering dianggap rumit, terlalu idealis, bahkan mengancam status quo.

Dalam ruang politik seperti ini, keberanian bersuara bisa dianggap sebagai gangguan. Kecerdasan yang tajam kerap dianggap sebagai ancaman. Maka, kebodohan yang jinak—yang tidak banyak bertanya, mudah diarahkan, dan tidak menuntut perubahan—lebih mudah diterima. Bukan karena lebih baik, tetapi karena lebih nyaman bagi mereka yang ingin menjaga kepentingan sempit.

Karena itulah, menghadapi politik tidak cukup hanya dengan kecerdasan intelektual. Kita butuh kecerdasan moral. Perlu ada keberanian untuk bersikap tegak dalam badai manipulasi. Butuh orang-orang yang tak hanya tahu banyak, tetapi juga memiliki integritas dan keberanian untuk menolak permainan kotor yang dibungkus rapi dengan pencitraan.

Selama kebodohan terus dibiarkan menjadi wajah sah kekuasaan, maka yang akan tumbuh bukanlah keadilan, melainkan kelicikan—dibungkus dalam kepolosan, dan dirayakan dalam euforia demokrasi yang kehilangan arah.(*)

——————————————————

                    —–——————

——————————————————

Penulis adalah pemerhati sosial-politik dari Hulu Sungai Utara, yang dikenal aktif dalam pandangan kritis terhadap dinamika kekuasaan dan kebijakan publik.

Leave a comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

BERITA POPULER